LPK Kabupaten Malang, Membangun konsumen cerdas dan mandiri
Reposisi Kemitraan Pasar Tradisional-Modern
(Pendalaman Atas Perpres 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, PP RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, UU RI No. 9 Tahun 1999 Tentang Usaha Kecil, UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, UU RI No.5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen )
Banyak penelitian dan kajian dilakukan praktisi, akademisi, pemerintah terus melakukan pendalaman mengenai sistem perdagangan untuk tata pasar khususnya pasar tradisional dan modern. Kita dapat pilah dua karakteristik tata kelola pasar tradisional dan modern kini, pasar tradisional cenderung kumuh, kotor, sembrawut, lahan parkir yang tak tertata, keamanan pasar yang tidak terjamin, penempatan/penataan produk dan komoditi yang sembarangan dan tentunya pengelolaan pasar yang masih belum professional, ini berbanding terbalik dengan kondisi pasar modern yang memiliki tempat yang bersih, dijaga keamanan yang memadai, tata produk/komoditi yang terklasifikasi, manajemen yang terstruktur dalam pola perlakukan professional. Inti masalah harus ditemukan, pertama, bagaimana membuat pasar tradisional yang secara kesehatan memadai (hygienis, bersih dan rapih), penanganan sampah yang teratur, keamanan yang terjamin dan tentunya standar baku pengelolaan/manajemen yang profesional. Ini membutuhkan kerja keras dari semua pihak, Pemda Kabupaten/Kota-Provinsi dan semua elemen yang bersinggungan dengan kondisi pasar saat ini.
Menurunnya konsumen ke pasar tradisional dapat dianalisis melalui beberapa segi, baik dari sisi konsumen maupun kondisi pasar tradisional yang telah digambarkan tadi. Persaingan perdagangan retail yang bermain yang menjual mata dagangan yang sama, yaitu seperti kebutuhan sehari-hari dimana komoditas tersebut sesungguhnya menjadi bagian dari kesulitan pasar tradisional untuk meraih pasar. Dengan demikian sesungguhnya yang terjadi bisa jadi kompetisi keras diantara intra-type, yakni sesama hypermarket atau supermarket, dan sesama kelompok pedagang tradisional, seperti sesama toko dipasar tradisional, sesame warung, sesama pedagang kaki lima, yang tingkat barrier to entry-nya dari segi modal minim. Dengan demikian konflik tidak hanya terjadi antara yang bermodal besar dengan yang bermodal kecil tapi antara sesama modal besar atau kecilpun persaingan usaha akan terjadi dengan hukum pasar. Lantas melihat realitas diatas apakah kita akan membiarkan semua diserahkan pada mekanisme pasar, pada hukum pasar dimana yang lemah selalu menjadi santapan yang kuat?
Sebelum mendalami lebih jauh kita harus paham terlebih dahulu bahwa definisi pasar adalah area tempat jual beli dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Pusat Perbelanjaan adalah suatu area tertantu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertical maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Dari definisi tersebut kita akan paham bahwa ada alur dan mata rantai yang sesungguhnya menjadi titik poin pembenahan seperti yang diharapkan oleh pengaturan tentang pasar tradisional dan pasar modern yang ditandatangani Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pada 27 Desember 2007. Pemerintah selalu mencoba mencarikan jalan keluar dari benturan-benturan dengan langkah-langkah antisifatif. Dengan menerbitkan sejumlah Undang-undang, Perpres dan aturan lainnya. Bahasan dibawah ini, kita akan dedah ulang atas tata aturan yang dapat dilakukan baik oleh pelaku usaha, konsumen maupun pemegang regulasi untuk secepatnya bertindak melakukan penataan yang tidak hanya bersandar pada Perpres yang baru keluar ini.
Pasca Perpres 112 Keluar
Dalam Perpres No. 122/2007 yang terdiri dari 8 Bab dan 20 Pasal disebutkan bahwa keluarnya peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh makin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar tumbuh dan berkembang serasi, saling memerluan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Selain itu untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen.
Perpres menerbitkan regulasi tentang pengaturan pasar modern dengan substansi masalah, antara lain peraturan zonasi, hari dan jam buka, serta program kemitraan wajib antara pasar modern dan UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro). Untuk pemataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern diuraikan dalam pasar 2 yaitu lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Pendirian juga wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada diwilayah yang bersangkutan. Menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m² (duaratus meer persegi) luas lantai penjualan pasar tradisional (pengeloaan ini dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pasar tradisional dengan pihak lain) dan menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib, dan ruang publik yang aman.
Untuk penataan pusat perbelanjaan dan toko modern, yang diuraikan dalam pasal 3 yaitu tentang lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib mangacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Pusat perbelanjaan dan toko modern juga dibatasi luas lantai penjualannya seperti minimarket (kurang dari 400 m²), Suparemarket (400 m² sampai dengan 5.000 m²), Hypermarket (diatas 5.000 m²), Departemen Store (diatas 400 m²) dan Perkulakan (diatas 5.000 m²). sistem penjualan dan jenis barang yang diperdagangkan di toko modern yaitu Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya, Departemen Store menjual secara sceran barang konsumsi utamanya produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/atau tingkat usai konsumen; dan perkulakan menjual secara grosir barang konsumsi. Yang penting pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan usaha menengah yang ada di wilayah bersangkutan, memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya, menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 unit kendaraan roda empat untuk 60 m² luas lantai penjualan pusat perbelanjaan dan/atau toko modern (pengelolaan dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pusat perbelanjaan dan/atau toko modern dengan pihak lain).
Untuk perkulakan hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri sekunder. Hypermarket dan pusat perbelanjaan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau jalan kolektor dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan local atau lingkungan di dalam kota/perkotaan. Supermarket dan Departement Store tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan. Minimarket boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. Pasar tradisional boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten. (Tentang Jenis-Jenis Jalan: Lihat Rubrik Sign In) Jam kerja juga mengalami pengaturan, seperti Hypermarket, Departement Store dan Supermarket buka pukul 10.00 sampai pukul 22.00 waktu setempat untuk hari Senin sampai Jumat, pukul 10.00 sampai 23.00 waktu setempat untuk hari Sabtu dan Minggu. Untuk hari besar keagamaan, libur nasional atau hari tertentu lainnya, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan jam kerja melampaui pukul 22.00 waktu setempat. (Pasal 7) Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, dapat menggunakan merek sendiri dengan mengutamakan barang produksi usaha kecil dan usaha menengah dan mengutamakan jenis barang yang diproduksi di Indonesia. Penggunaan merek toko modern sendiri harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), bidang keamanan dan kesehatan produk, serta perundang-undangan lainnya. (pasal 10)
Kemitraan UKM dengan Usaha Besar
Perpres 112 juga mensyaratkan adanya kerjasama antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pusat perbelanjaan wajib menyediakan tempat usaha untuk usaha kecil dengan harga jual atau biaya sewa yang sesuai dengan kemampuan usaha kecil, atau yang dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil melalui kerjasama lain dalam rangka kemitraan. Kemitraan ini merupakan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan ini diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan membrikan peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha (pasal 2/Pola Kemitraan). Yang dimaksud Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil yang mempunyai kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Usaha Menengah dan atau Usaha Besar adalah kegiatan ekonomi yang memiliki kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari pada kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan Usaha Kecil. Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara usaha besar dan atau usaha menengah dengan usaha kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan usaha menengah. (Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan)
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang termasuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan keterampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh WNI. Pemerintah juga menetapkan jenis-jenis industri yang khsusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah. Selain itu pemerintah juga menetapkan bidang usaha industri untuk penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun luar negeri. (pasal 5-6 UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian) Usaha menengah dan usaha besar dalam melakukan kemitraan wajib memberikan pembinaan kepada usaha kecil agar dapat meningkatkan kesempatan berusaha serta kemampuan manajemen dalam satu atau lebi aspek di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, penyediaan bahan baku, pengelolaan usaha, dan pendanaan. Bidang/jenis usaha yang dicaangkan untuk usaha kecil, usaha menengah dan besar terbagi menjadi beberapa sektor diantaranya pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, industri dan perdagangan, perhubungan, telekomunikasi dan kesehatan. (Kepres RI No. 127 Tahun 2001 Tentang Barang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang /Jenis Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan).
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan, Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri; Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaanperusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat; Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatankegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya; Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam. (Pasal 9 UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian)
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil dalam bidang: produksi dan pengolahan; pemasaran; sumber daya manusia; dan teknologi. Yang terurai dalam kegiatan meningkatkan kemampuan manajemen serta teknik produksi dan pengolahan; meningkatkan kemampuan rancang bangun
dan perekayasa memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran; menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji coba pasar; mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi; memasarkan produk Usaha Kecil. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan, dan konsultasi Usaha Kecil; menyediakan tenaga penyuluh dan konsultan Usaha Kecil. meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu; meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru; memberi insentif kepada Usaha Kecil yang menerapkan teknologi baru dan melestarikan lingkungan hidup; meningkatkan kerjasama dan alih teknologi; meningkatkan kemampuan memenuhi standardisasi teknologi; menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi Usaha Kecil. (Pasal 14-18 UU RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil)
Kemitraan dalam kegiatan perdagangan antara usaha besar dengan usaha menengah dan kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh usaha besar dan usaha menengah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi usaha kecil dengan cara langsung dan terbuka. (pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 1997) Dalam rangka pengembangan kemitraan antara pemasok usaha kecil dengan Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, perjanjian kerjasamanya harus dilakukan dengan tidak memungut bisaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, dan pembayaran kepada pemasok usaha kecil dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. Pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil. Dalam rangka menciptakan hubungan kerjasama yang berkeadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan antara pemasok dengan toko modern, pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan toko modern dalam merundingkan perjanjian kerjasama. (Pasal 9 dan 11 PERPRES No. 122/2007)
Usaha kecil yang bermitra mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan usaha besar dan usaha menengah, dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan usaha menengah. Pun demikian usaha besar, usaha menengah dan atau usaha kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai kewajiban untuk mencegah gagalnya kemitraan, memberikan informasi tentang pelaksanaan kemitraan kepada Menteri Teknis dan Menteri dan meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan. (Pasal 15-16 PP RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan) Dan dalam rangka pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern, pemerintah daerah harus memberdayakan pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan mengawasi pelaksanaan kemitraan sebagaimana telah diatur dalam Perpres. (pasal 15 ayat 3 Perpres No. 112/2007)
Penataan Persaingan Usaha
Pemerintah dan pemerintah daerah baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesusai dengan bidang tugas masing-masing melakukan pembinaan dan pengawasan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Untuk pembinaan, pemerintah daerah mengupayakan sumber-sumber alternativ pendanaan untuk pemberdayaan pasar tradisional sesuai ketentuan perundang-undangan, meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola Pasar Tradisional, memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang Pasar Tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi pasar tradisional, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional. (pasal 15 ayat 1-2 Perpres No. 112/2007)
Untuk melakukan penataan, maka pemerintah mengatur perizinan untuk pengelolaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern dimana ada Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUP2T) untuk pasar tradisional; Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan; Izin Usaha Toko Modern (IUTM) untuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket dan Perkulakan. IUTM untuk Minimarket diutamakan bagi pelaku Usaha Kecil dan Usaha Menengah setempat. Izin-izin tersebut diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal yang penting dalam pembuatan izin ini harus dilengkapi dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampak bagi pelaku pedagang eceran setempat serta menyertakan rencana kemitraan dengan usaha kecil. Pedoman membuat tata cara perizinan ini dibuat oleh Menteri. (pasal 12-14 Perpres No. 112/2007) dengan adanya aturan yang mengikat tersebut, apabila ada pelanggaran seperti yang termaktub dalam pasal 6, pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 8 ayat (3), pasal 9, pasal 10 ayat (2) dan pasal 16 dapat dikenakan sanksi administrativ secara bertahap berupa peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan izin usaha. (pasal 17 Perpres No. 112/2007)
Selain penataan tempat dan izin tersebut, hal yang harus dipahami bersama adalah tentang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelaku usaha apapun baik yang datang dari luar negeri maupun investor dalam negeri harus membatasi usahanya tersebut, pelaku usaha yang dimaksud adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Mengenai persaingan usaha tidak sehat ini dibatasi dengan persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pemerintah melakukan pembatasan ini dilatarbelakngi oleh banyaknya penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta adanya kecenderungan yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha maka pemerintah menertibkannya dengan UU RI No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ada beberapa perjanjian yang dilarang bagi pelaku usaha (ini tidak terlepas dari pelaku pasar tradisional maupun modern). Diantaranya Oligopoli (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Ini dengan catatan bahwa pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Penetapan Harga (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan ini tidak berlaku untuk suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat); Pembagian Wilayah (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Kartel (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Trust (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Oligopsoni
(Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan jika pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Integrasi Vertikal (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat); Perjanjian Tertutup (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok); Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat).
Selain beberapa perjanjian yang dilarang ada pula kegiatan yang dilarang untuk menjaga agar usaha tetap dalam koridor persaingan yang sehat. Berikut beberapa kegiatannya Monopoli (Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Monopsoni (Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Penguasaan Pasar (Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek monopoli terhadap pelaku usaha tertentu. Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat); Persekongkolan (Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan);
Yang lainnya dari kegiatan dan perjanjian yang dilarang, ada posisi dominan yang menjadi perhatian pemerintah untuk dilakukan penataan. Diantaranya Posisi dominan (Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu); Jabatan Rangkap (Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut : a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Pemilikan Saham (Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan : a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu).
Pasar Terdepan Dalam Lindungi Konsumen
Kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dan pasar adalah salah satu sarana untuk menegakan dan melindungi konsumen. Perlindungan konsumen terdefinisi merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Kenapa konsumen harus dilindungi? Perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pelaku usaha maupun konsumen harus mengetahui letak posisi masing-masing dalam peran ini. Konsumen mempunyai kewajiban dan hak seperti hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan Kewajiban konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. (Pasal 4&5 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)
Sedangkan untuk hak dan kewajian pelaku usaha yaitu hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. (Pasal 6&7 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) Dengan adanya perlindungan konsumen, semua tentunya akan diuntungkan. Tidak hanya materi tapi sesungguhnya dengan kepercayaan dan patuh pada hukum kita akan selamat, baik dalam menjalankan usaha maupun masyarakat umum sebagai konsumen. Karena sesungguhnya kita semua adalah konsumen! ©
Oleh: Rama Prabu
Author: Reposisi Kemitraan Pasar Tradisional-Modern
Sumber : http://ramaprabu.multiply.com/reviews/item/29
(Pendalaman Atas Perpres 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, PP RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan, UU RI No. 9 Tahun 1999 Tentang Usaha Kecil, UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, UU RI No.5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen )
Banyak penelitian dan kajian dilakukan praktisi, akademisi, pemerintah terus melakukan pendalaman mengenai sistem perdagangan untuk tata pasar khususnya pasar tradisional dan modern. Kita dapat pilah dua karakteristik tata kelola pasar tradisional dan modern kini, pasar tradisional cenderung kumuh, kotor, sembrawut, lahan parkir yang tak tertata, keamanan pasar yang tidak terjamin, penempatan/penataan produk dan komoditi yang sembarangan dan tentunya pengelolaan pasar yang masih belum professional, ini berbanding terbalik dengan kondisi pasar modern yang memiliki tempat yang bersih, dijaga keamanan yang memadai, tata produk/komoditi yang terklasifikasi, manajemen yang terstruktur dalam pola perlakukan professional. Inti masalah harus ditemukan, pertama, bagaimana membuat pasar tradisional yang secara kesehatan memadai (hygienis, bersih dan rapih), penanganan sampah yang teratur, keamanan yang terjamin dan tentunya standar baku pengelolaan/manajemen yang profesional. Ini membutuhkan kerja keras dari semua pihak, Pemda Kabupaten/Kota-Provinsi dan semua elemen yang bersinggungan dengan kondisi pasar saat ini.
Menurunnya konsumen ke pasar tradisional dapat dianalisis melalui beberapa segi, baik dari sisi konsumen maupun kondisi pasar tradisional yang telah digambarkan tadi. Persaingan perdagangan retail yang bermain yang menjual mata dagangan yang sama, yaitu seperti kebutuhan sehari-hari dimana komoditas tersebut sesungguhnya menjadi bagian dari kesulitan pasar tradisional untuk meraih pasar. Dengan demikian sesungguhnya yang terjadi bisa jadi kompetisi keras diantara intra-type, yakni sesama hypermarket atau supermarket, dan sesama kelompok pedagang tradisional, seperti sesama toko dipasar tradisional, sesame warung, sesama pedagang kaki lima, yang tingkat barrier to entry-nya dari segi modal minim. Dengan demikian konflik tidak hanya terjadi antara yang bermodal besar dengan yang bermodal kecil tapi antara sesama modal besar atau kecilpun persaingan usaha akan terjadi dengan hukum pasar. Lantas melihat realitas diatas apakah kita akan membiarkan semua diserahkan pada mekanisme pasar, pada hukum pasar dimana yang lemah selalu menjadi santapan yang kuat?
Sebelum mendalami lebih jauh kita harus paham terlebih dahulu bahwa definisi pasar adalah area tempat jual beli dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Pusat Perbelanjaan adalah suatu area tertantu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertical maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Dari definisi tersebut kita akan paham bahwa ada alur dan mata rantai yang sesungguhnya menjadi titik poin pembenahan seperti yang diharapkan oleh pengaturan tentang pasar tradisional dan pasar modern yang ditandatangani Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pada 27 Desember 2007. Pemerintah selalu mencoba mencarikan jalan keluar dari benturan-benturan dengan langkah-langkah antisifatif. Dengan menerbitkan sejumlah Undang-undang, Perpres dan aturan lainnya. Bahasan dibawah ini, kita akan dedah ulang atas tata aturan yang dapat dilakukan baik oleh pelaku usaha, konsumen maupun pemegang regulasi untuk secepatnya bertindak melakukan penataan yang tidak hanya bersandar pada Perpres yang baru keluar ini.
Pasca Perpres 112 Keluar
Dalam Perpres No. 122/2007 yang terdiri dari 8 Bab dan 20 Pasal disebutkan bahwa keluarnya peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh makin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar tumbuh dan berkembang serasi, saling memerluan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Selain itu untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen.
Perpres menerbitkan regulasi tentang pengaturan pasar modern dengan substansi masalah, antara lain peraturan zonasi, hari dan jam buka, serta program kemitraan wajib antara pasar modern dan UMKM (Usaha Menengah Kecil Mikro). Untuk pemataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern diuraikan dalam pasar 2 yaitu lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Pendirian juga wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada diwilayah yang bersangkutan. Menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m² (duaratus meer persegi) luas lantai penjualan pasar tradisional (pengeloaan ini dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pasar tradisional dengan pihak lain) dan menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib, dan ruang publik yang aman.
Untuk penataan pusat perbelanjaan dan toko modern, yang diuraikan dalam pasal 3 yaitu tentang lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib mangacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Pusat perbelanjaan dan toko modern juga dibatasi luas lantai penjualannya seperti minimarket (kurang dari 400 m²), Suparemarket (400 m² sampai dengan 5.000 m²), Hypermarket (diatas 5.000 m²), Departemen Store (diatas 400 m²) dan Perkulakan (diatas 5.000 m²). sistem penjualan dan jenis barang yang diperdagangkan di toko modern yaitu Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya, Departemen Store menjual secara sceran barang konsumsi utamanya produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/atau tingkat usai konsumen; dan perkulakan menjual secara grosir barang konsumsi. Yang penting pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan usaha menengah yang ada di wilayah bersangkutan, memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya, menyediakan areal parker paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 unit kendaraan roda empat untuk 60 m² luas lantai penjualan pusat perbelanjaan dan/atau toko modern (pengelolaan dapat dilakukan berdasarkan kerjasama antara pengelola pusat perbelanjaan dan/atau toko modern dengan pihak lain).
Untuk perkulakan hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri sekunder. Hypermarket dan pusat perbelanjaan hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau jalan kolektor dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan local atau lingkungan di dalam kota/perkotaan. Supermarket dan Departement Store tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan. Minimarket boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. Pasar tradisional boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten. (Tentang Jenis-Jenis Jalan: Lihat Rubrik Sign In) Jam kerja juga mengalami pengaturan, seperti Hypermarket, Departement Store dan Supermarket buka pukul 10.00 sampai pukul 22.00 waktu setempat untuk hari Senin sampai Jumat, pukul 10.00 sampai 23.00 waktu setempat untuk hari Sabtu dan Minggu. Untuk hari besar keagamaan, libur nasional atau hari tertentu lainnya, Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat menetapkan jam kerja melampaui pukul 22.00 waktu setempat. (Pasal 7) Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, dapat menggunakan merek sendiri dengan mengutamakan barang produksi usaha kecil dan usaha menengah dan mengutamakan jenis barang yang diproduksi di Indonesia. Penggunaan merek toko modern sendiri harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), bidang keamanan dan kesehatan produk, serta perundang-undangan lainnya. (pasal 10)
Kemitraan UKM dengan Usaha Besar
Perpres 112 juga mensyaratkan adanya kerjasama antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pusat perbelanjaan wajib menyediakan tempat usaha untuk usaha kecil dengan harga jual atau biaya sewa yang sesuai dengan kemampuan usaha kecil, atau yang dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil melalui kerjasama lain dalam rangka kemitraan. Kemitraan ini merupakan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan ini diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan membrikan peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil, oleh pemerintah dan dunia usaha (pasal 2/Pola Kemitraan). Yang dimaksud Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil yang mempunyai kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Usaha Menengah dan atau Usaha Besar adalah kegiatan ekonomi yang memiliki kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari pada kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan Usaha Kecil. Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara usaha besar dan atau usaha menengah dengan usaha kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan usaha menengah. (Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan)
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang termasuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan keterampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh WNI. Pemerintah juga menetapkan jenis-jenis industri yang khsusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah. Selain itu pemerintah juga menetapkan bidang usaha industri untuk penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun luar negeri. (pasal 5-6 UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian) Usaha menengah dan usaha besar dalam melakukan kemitraan wajib memberikan pembinaan kepada usaha kecil agar dapat meningkatkan kesempatan berusaha serta kemampuan manajemen dalam satu atau lebi aspek di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, penyediaan bahan baku, pengelolaan usaha, dan pendanaan. Bidang/jenis usaha yang dicaangkan untuk usaha kecil, usaha menengah dan besar terbagi menjadi beberapa sektor diantaranya pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, industri dan perdagangan, perhubungan, telekomunikasi dan kesehatan. (Kepres RI No. 127 Tahun 2001 Tentang Barang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang /Jenis Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Besar Dengan Syarat Kemitraan).
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan, Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri; Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaanperusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat; Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatankegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya; Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam. (Pasal 9 UU RI No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian)
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil dalam bidang: produksi dan pengolahan; pemasaran; sumber daya manusia; dan teknologi. Yang terurai dalam kegiatan meningkatkan kemampuan manajemen serta teknik produksi dan pengolahan; meningkatkan kemampuan rancang bangun
dan perekayasa memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran; meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran; menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji coba pasar; mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi; memasarkan produk Usaha Kecil. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan; meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan, dan konsultasi Usaha Kecil; menyediakan tenaga penyuluh dan konsultan Usaha Kecil. meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu; meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru; memberi insentif kepada Usaha Kecil yang menerapkan teknologi baru dan melestarikan lingkungan hidup; meningkatkan kerjasama dan alih teknologi; meningkatkan kemampuan memenuhi standardisasi teknologi; menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi Usaha Kecil. (Pasal 14-18 UU RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil)
Kemitraan dalam kegiatan perdagangan antara usaha besar dengan usaha menengah dan kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau usaha menengah yang bersangkutan. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh usaha besar dan usaha menengah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi usaha kecil dengan cara langsung dan terbuka. (pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 1997) Dalam rangka pengembangan kemitraan antara pemasok usaha kecil dengan Perkulakan, Hypermarket, Departemen Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket, perjanjian kerjasamanya harus dilakukan dengan tidak memungut bisaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, dan pembayaran kepada pemasok usaha kecil dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. Pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil. Dalam rangka menciptakan hubungan kerjasama yang berkeadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan antara pemasok dengan toko modern, pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan toko modern dalam merundingkan perjanjian kerjasama. (Pasal 9 dan 11 PERPRES No. 122/2007)
Usaha kecil yang bermitra mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan usaha besar dan usaha menengah, dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan usaha menengah. Pun demikian usaha besar, usaha menengah dan atau usaha kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai kewajiban untuk mencegah gagalnya kemitraan, memberikan informasi tentang pelaksanaan kemitraan kepada Menteri Teknis dan Menteri dan meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan. (Pasal 15-16 PP RI No. 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan) Dan dalam rangka pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern, pemerintah daerah harus memberdayakan pusat perbelanjaan dan toko modern dalam membina pasar tradisional dan mengawasi pelaksanaan kemitraan sebagaimana telah diatur dalam Perpres. (pasal 15 ayat 3 Perpres No. 112/2007)
Penataan Persaingan Usaha
Pemerintah dan pemerintah daerah baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesusai dengan bidang tugas masing-masing melakukan pembinaan dan pengawasan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Untuk pembinaan, pemerintah daerah mengupayakan sumber-sumber alternativ pendanaan untuk pemberdayaan pasar tradisional sesuai ketentuan perundang-undangan, meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola Pasar Tradisional, memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang Pasar Tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi pasar tradisional, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional. (pasal 15 ayat 1-2 Perpres No. 112/2007)
Untuk melakukan penataan, maka pemerintah mengatur perizinan untuk pengelolaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern dimana ada Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUP2T) untuk pasar tradisional; Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat Perdagangan; Izin Usaha Toko Modern (IUTM) untuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket dan Perkulakan. IUTM untuk Minimarket diutamakan bagi pelaku Usaha Kecil dan Usaha Menengah setempat. Izin-izin tersebut diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal yang penting dalam pembuatan izin ini harus dilengkapi dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampak bagi pelaku pedagang eceran setempat serta menyertakan rencana kemitraan dengan usaha kecil. Pedoman membuat tata cara perizinan ini dibuat oleh Menteri. (pasal 12-14 Perpres No. 112/2007) dengan adanya aturan yang mengikat tersebut, apabila ada pelanggaran seperti yang termaktub dalam pasal 6, pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 8 ayat (3), pasal 9, pasal 10 ayat (2) dan pasal 16 dapat dikenakan sanksi administrativ secara bertahap berupa peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan izin usaha. (pasal 17 Perpres No. 112/2007)
Selain penataan tempat dan izin tersebut, hal yang harus dipahami bersama adalah tentang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelaku usaha apapun baik yang datang dari luar negeri maupun investor dalam negeri harus membatasi usahanya tersebut, pelaku usaha yang dimaksud adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Mengenai persaingan usaha tidak sehat ini dibatasi dengan persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pemerintah melakukan pembatasan ini dilatarbelakngi oleh banyaknya penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta adanya kecenderungan yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha maka pemerintah menertibkannya dengan UU RI No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ada beberapa perjanjian yang dilarang bagi pelaku usaha (ini tidak terlepas dari pelaku pasar tradisional maupun modern). Diantaranya Oligopoli (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Ini dengan catatan bahwa pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Penetapan Harga (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan ini tidak berlaku untuk suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat); Pembagian Wilayah (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Kartel (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Trust (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Oligopsoni
(Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan jika pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Integrasi Vertikal (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat); Perjanjian Tertutup (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok); Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat).
Selain beberapa perjanjian yang dilarang ada pula kegiatan yang dilarang untuk menjaga agar usaha tetap dalam koridor persaingan yang sehat. Berikut beberapa kegiatannya Monopoli (Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Monopsoni (Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu); Penguasaan Pasar (Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau d. melakukan praktek monopoli terhadap pelaku usaha tertentu. Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat); Persekongkolan (Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan);
Yang lainnya dari kegiatan dan perjanjian yang dilarang, ada posisi dominan yang menjadi perhatian pemerintah untuk dilakukan penataan. Diantaranya Posisi dominan (Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu); Jabatan Rangkap (Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut : a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat); Pemilikan Saham (Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan : a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu).
Pasar Terdepan Dalam Lindungi Konsumen
Kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dan pasar adalah salah satu sarana untuk menegakan dan melindungi konsumen. Perlindungan konsumen terdefinisi merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Kenapa konsumen harus dilindungi? Perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pelaku usaha maupun konsumen harus mengetahui letak posisi masing-masing dalam peran ini. Konsumen mempunyai kewajiban dan hak seperti hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan Kewajiban konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. (Pasal 4&5 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)
Sedangkan untuk hak dan kewajian pelaku usaha yaitu hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. (Pasal 6&7 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) Dengan adanya perlindungan konsumen, semua tentunya akan diuntungkan. Tidak hanya materi tapi sesungguhnya dengan kepercayaan dan patuh pada hukum kita akan selamat, baik dalam menjalankan usaha maupun masyarakat umum sebagai konsumen. Karena sesungguhnya kita semua adalah konsumen! ©
Oleh: Rama Prabu
Author: Reposisi Kemitraan Pasar Tradisional-Modern
Sumber : http://ramaprabu.multiply.com/reviews/item/29
0 komentar